Kumpulan Puisi Pahlawan Karya Chairil Anwar dan WS. Rendra

Setiap senin sebagian besar masyarakat Indonesia pasti mengikuti upacara pengibaran bendera baik itu di sekolah, kantor atau instansi negara lainnya. Salah satu agenda upacara adalah mengheningkan cipta untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah berjuang demi Negara Indonesia. Selain mengheningkan cipta, ada banyak cara lain yang bisa kita lakukan seperti membacakan puisi. Apa saja bentuk puisi yang bisa dibacakan untuk mengenang para pahlawan? Simak baik-baik artikel berikut ini ya!

Pahlawan adalah gelar yang diberikan kepada warga negara yang rela berjuang melawan penjajah. Gelar tersebut juga pantas disandang bagi seseorang yang semasa hidupnya telah banyak melakukan prestasi luar biasa demi pembangunan dan kemajuan bangsa. Gelar pahlawan disematkan bagi mereka yang telah berjuang mati-matian untuk membela bangsa dan tanah air. Mengenang jasa para pahlawan bisa dilakukan dengan banyak cara, salah satunya adalah puisi-puisi kepahlawanan. Puisi kepahlawanan dari para sastrawan Indonesia seperti Chairil Anwar dan WS. Rendra memiliki makna yang begitu mendalam . Berikut adalah puisi-puisi kepahlawanan karya sastrawan Indonesia, antara lain:
Baca juga : Kumpulan Puisi Guru
Puisi Pahlawan Karya Chairil Anwar

Yang Terampas dan Yang Putus
Kelam dan angin lalu mempersiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin
malam tamah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di karet, di Karet sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu,
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang
Tubuhku diam dan sendiri, cerita, dan peristiwa berlalu beku
1949 —
Prajurit Jaga Malam
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras, bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi.
Terlucut debu…….
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu!
1948 —
Persetujuan Dengan Bung Karno
Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, diganti lautmu
Dari mulai tgl 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak dan berlabuh
1948 —
Maju
Ini barisan tak bergenderang-berpali
Kepercayaan tanda menyerbu
Sekali berarti
Sudah itu mati
Maju
Bagimu negeri
Menyediakan api
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang
Februari 1943
Karawang Bekasi
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukan jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan, dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara oadamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahriri
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garsi batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang dan Bekasi
Diponegoro
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati
Baca juga : Kumpulan Puisi Anak
Puisi Pahlawan Karya WS. Rendra

Gugur
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
tiada kuasa lagi menegak
telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
ke dada musuh yang merebut katanya
Ia merangkak
diatas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka dibadannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
matana bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
diantara anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
belum lagi selusin tindak
maut pun menghadangnya
ketika anaknya memegang tangannya
Ia berkata:
“Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah
dan akupun berasal dari tanah
tanah ambarawa yang kucinta
kita bukanlah anak jadah
karena kita punya bumi kecintaan
bumi yang menyusul kita
dengan air matanya
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah
bumi kita adalah kehormatan
bumi kita adalah jua dari jiwa
ia adalah bumi nenek moyang
ia adalah bumi waris yang sekarang
ia adalah bumi waris yang akan datang”
Hari pun berangkat malam
bumi berpeluh dan terbakar
karna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua kembali berkata
“Lihatlah, hari telah fajar!
wahai bumi yang indah
kita akan berpelukan buat selama-lamanya!
nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menancapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata:
“Alangkah gemburnya tanah disini!”
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya
Lagu Serdadu
Kami masuk serdadu dan dapat senapan
ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang
Yoho, darah kami campur arak!
Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak
Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali
wahai, tanah yang baik untuk mati
dan kalu ku telentang dengan pelor tanah
cukilah ia bagai puteraku di rumah
Gerilya
Tubuh birutatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Dengan tujuh lubang pelor
di ketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantung-gantung
disiram atas tubuhnya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Lewat gardu belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubut ibunya
Baca juga : Kumpulan Syair
Demikian kumpulan puisi pahlawan dari sastrawan Indonesia yaitu Chairil Anwar dan WS. Rendra dan semoga bermanfaat.